Di Kala tanah gersang menangis
Bintang enam melabuhkan dubur di bulan sabit yang utuh
Bersama abjad tambah mereka sinis menjajah tanah itu
Pawana semilir pada norma-norma menghitam muktahir
Meluluh lusuh satu demi satu citraneka warna-warna bianglala
Struktur tertunggul rapat tanpa celahan melahirkan bisu dan beku
Zarah-zarah yang dahulunya gemerlapan
Kini menjadi gemer-sifar kosong dan tiada
Lenyap sudah sebuah maruah
Mana larinya obor-obor berapi-api
Di mana pupusnya akar yang berubi subur mekar di tanah gersang
Ku lihat hanya secubit duri kaktus bertahan menahan desiran pasir ini
Mereka berhijrah ke rimba liar di seberang sungai kering
Demi menuai dahaga rakus di tengah rimba mereka politikkan
Di ruang suram kota kehijauan menurut pendeta
Berdaulat kini payung kuning jata kota itu
Tenggelam sudah kejatian yang berasal usulkan seni murni
Lupakan kulit kacang membawa definisi tanpa merugi
Namun berwaspadalah akan sumpahan raja wali
Bakal tiba detiknya tanah gersang itu dibasahi hujan nikmat
Melimpah ruah hingga nurnya membuta tulikan mata mereka
Terdengar suara berteriakkan khabar hiba buat tikus-tikus yang rakus
Usah kembali lagi hai cucu-cicit iblis kata desir pasir
Bukan hakmu lagi
Bukan asalmu ini!
Di sana di kota rimba pulanglah kamu
Hadiratmu mengundang murka para khalifahku
Tanah gersang itu hanya berdiam
Menundukkan kepalanya menangis sepi
Sayup-sayup kedengaran bisikan kecilnya
Maafkanlah saya hai hamba-hamba
Telah kau sakiti hati ini
Meninggalkan diri di kala musibah menerjah
kini sumber nur siang berundur dari paksi sebelumnya
tertutup sudah gemilang era silam
No comments:
Post a Comment